Jumat, 16 Juni 2017

Momentum Tepat Redenominasi di 2017

Oleh Randy Nurrohman Al Farishy
Mahasiswa Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Prof.DR.HAMKA.




Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Pada waktu terjadi inflasi, jumlah satuan moneter yang sama perlahan-lahan memiliki daya beli yang semakin melemah. Dengan kata lain, harga produk dan jasa harus dituliskan dengan jumlah yang lebih besar. 

Ketika angka-angka ini semakin membesar, mereka dapat memengaruhi transaksi harian karena risiko dan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh jumlah lembaran uang yang harus dibawa, atau karena psikologi manusia yang tidak efektif menangani perhitungan angka dalam jumlah besar. 

Pihak yang berwenang dapat memperkecil masalah ini dengan redenominasi: satuan yang baru menggantikan satuan yang lama dengan sejumlah angka tertentu dari satuan yang lama dikonversi menjadi 1 satuan yang baru. 

Jika alasan redenominasi adalah inflasi, maka rasio konversi dapat lebih besar dari 1, biasanya merupakan bilangan positif kelipatan 10, seperti 10, 100, 1.000, dan seterusnya. Prosedur ini dapat disebut sebagai "penghilangan nol"

Bank Indonesia mengaku saat ini sudah siap untuk melaksanakan kebijakan pengurangan angka nol di dalam mata uang rupiah atau redenominasi. Salah satu syarat untuk melaksanakan kebijakan redenominasi adalah kondisi ekonomi Indonesia yang stabil dan kuat. 

Saat ini, salah satu indikator ekonomi penting‎ dalam pelaksanaan redenominasi adalah persoalan inflasi. Inflasi Indonesia terus terjaga di bawah angka 4 persen. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tumbuh secara berkualitas.

Kesiapan Bank Indonesia ini juga menjadi pesan yang ditujukan kepada DPR RI untuk segera membahas‎ mengenai Rencana Undang-Undang Redenominasi.‎ Jika langsung dieksekusi, pembahasan bisa dilakukan pada kuartal II tahun ini.

Pelaksanaan redenominasi ini hal yang paling utama adalah komunikasi, mulai dengan DPR RI hingga ke masyarakat seluruh Indonesia. Komunikasi ini dilakukan untuk memastikan bahwa redenominasi ini bukan sanering. 

Redenominasi hanya pengurangan angka nol di mata uang, sehingga nilai mata uang tidak akan berubah. Berbeda dengan kebijakan sanering, di mana pengurangan nol dilakukan menurunkan nilai‎ rupiah.

Indonesia pernah melakukan sanering pada 24 Agustus 1959. Saat itu sanering dilakukan untuk mata uang Rp 500‎ yang bergambar macan dan Rp 1.000 bergambar gajah. Nilai masing-masing diturunkan hingga tinggal 10 persennya saja.

Uang Macan yang semula mempunyai nilai Rp 500 berubah menjadi Rp 50 sedangkan uang gajah yang semula Rp 1.000 berubah menjadi Rp 100. Pemotongan nilai uang ini tidak terjadi dengan nominal-nominal yang lebih kecil.

Praktisi ekonomi Ida Bagus Kade Perdana menilai 2017 merupakan momentum tepat untuk melakukan kebijakan redenominasi atau penyederhanaan angka nominal nilai mata uang rupiah karena fundamental ekonomi indonesia semakin memiliki daya tahan dan berada dalam kondisi sehat.

2017 merupakan momentum yang sangat baik dan tepat untuk melaksanakan kebijakan redenominasi rupiah yang diharapkan mampu mendongkrak dan mendorong peningkatan daya beli masyarakat menjadi semakin baik.

Pertumbuhan ekonomi yang membaik dan meningkat tahun 2016 menjadi 5,02 persen dibandingkan tahun 2015 yang hanya tumbuh sebesar 4,88 persen menjadi salah satu faktor untuk merealisasikan redenominasi.

Indikator lainnya itu inflasi yang rendah sebesar 3,02 persen merupakan angka terendah sepanjang beberapa dekade dan suku bunga acuan BI seven days repo rate yang terjaga di level 4,75 persen.

Perekonomian Indonesia dalam kondisi aman. Hal tersebut didorong dengan BI 7-Day Reverse Repo Rate yang tetap di angka 4,75 persen dengan suku bunga Deposit Facility tetap sebesar 4,00 persen dan Lending Facility tetap sebesar 5,50 persen, berlaku efektif sejak 16 Juni 2017.

BI konsisten menjaga stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan, serta mendukung keberlanjutan pemulihan ekonomi domestik. Itu artinya, kepercayaan diri dari pemerintah terhadap perekonomian negara cukup baik.

Biasanya menjelang hari Raya Idul Fitri terjadi gejolak harga dan semacamnya. Namun, hingga saat ini kondisi perekonomian relatif stabil. Cadangan devisa terus menguat pada posisi akhir 2016 berjumlah sebesar USD 116,4 miliar , atau meningkat dibandingkan tahun 2013 yang mencapai USD 99,4 miliar. 

Info terakhir posisi cadangan devisa pada akhir Mei 2017 tercatat sebesar USD 124,95 miliar. Angka ini meningkat dari posisi akhir April 2017 yang sebesar USD 123,25 miliar. Jumlah tersebut cukup untuk membiayai 8,9 bulan impor atau 8,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Kurs mata uang rupiah terhadap mata uang dolar AS relatif stabil dan berfluktuasi terkendali, neraca pembayaran Indonesia di 2016 yang mencatat surplus yang cukup besar ditengah kondisi global yang tidak menguntungkan yakni USD12,1 miliar.

Selain itu kinerja ekspor nonmigas meningkat mencapai USD36,3 miliar, utang Indonesia masih aman dengan rasio masih berada dibawah 30 persen dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga masih berada dibawah ketentuan yang diperkenan maksimum tiga persen juga menjadi indikator realisasi redenominasi.

"Keberhasilan pelaksanaan tax amnesty merupakan yang terbaik di dunia memperkuat keuangan pemerintah serta menimbulkan kepercayaan dan reputasi pemerintah yang semakin terapresiasi,"

Mata uang rupiah merupakan alat pembayaran yang memiliki pecahan terbesar kedua di dunia setelah mata uang Dong Vietnam yang pernah mencetak 500.000 Dong dengan tidak memperhitungkan negara Zimbabwe yang pernah mencetak 100 triliun dolar Zimbabwe dalam satu lembar mata uang.

Untuk itu, Indonesia perlu juga belajar dari negara yang gagal menerapkan redenominasi seperti Rusia, Argentina, Brasil, Zimbabwe dan Korea Utara, agar kebijakan itu benar-benar efektif.

"Penyebab kegagalan antara lain karena saatnya tidak tepat, tren fundamental ekonomi yang buruk, kebijakan makro yang tidak sehat, stok uang baru yang tidak memadai, minimnya sosialisasi dan perekonomian yang tidak stabil serta inflasi yang tidak terkendali," ucap Perdana.

Bank Indonesia, sejak tahun 2013 telah mengajukan Rancangan Undang-undang Redenominasi Rupiah kepada DPR RI untuk mendapatkan pengesahan yang diharapkan 2014 bisa terwujud. Namun, kenyataanya situasi ekonomi Indonesia 2014 yang kurang bagus sehingga kebijakan tersebut saat itu urung dilakukan.

"Adanya redenominasi akan mendorong pertumbuhan ekonomi karena masyarakat akan beralih lebih banyak melakukan investasi daripada menyimpan uang,"

Penyesuaian redenominasi ditengah masyarakat, lanjut dia, paling lambat bisa dilakukan hingga tujuh tahun dan paling cepat tiga tahun apabila diiringi sosialisasi yang intensif.